Blogger Template by Blogcrowds

Shirathal Mustaqim (Al-Fatihah)


Surah Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat. Dimulai dengan basmalah sebagai pembuka, selanjutnya puja dan puji atas ke-Maha Besar-an Allah dan pengakuan penghambaan kepada-Nya. Selanjutnya adalah do'a dan penjelasannya.

Setiap hari setidaknya tujuh belas kali kita membaca Al-Fatihah. Inti dari Surah Al-Faihah adalah do'a: Ihdinash-shiraathal mustaqiim, Tunjukilah kami jalan yang lurus (ayat ke-6).

Melihat ayat ini, orang-orang non-Muslim kadang berkomentar: Kaum Muslimin belum lagi mendapat hidayah jalan yang lurus. Buktinya, setiap hari mereka 17 kali meminta agar diberikan petunjuk jalan yang lurus.

Apakah benar demikian? Tentu saja tidak. Yang demikian itu hanyalah "tafsir sesat" mereka dengan semata menggunakan logika (ra`yu) untuk menyesatkan sebagian kaum muslimin yang belum faham tentang agama mereka.


عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَخَطَّ خَطًّا هَكَذَا أَمَامَهُ ، فَقَالَ : هَذَا سَبِيلُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَخَطَّيْنِ عَنْ يَمِينِهِ ، وَخَطَّيْنِ عَنْ شِمَالِهِ، قَالَ : هَذِهِ سَبِيلُ الشَّيْطَانِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ فِي الْخَطِّ الأَوْسَطِ، ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ الآيَةَ : (وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ)

Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Suatu saat kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau membuat sebuah garis di depan beliau demikian, kemudian beliau bersabda: "Ini adalah jalan Allah 'Azza wa Jalla". Beliau membuat dua garis di sebelah kanan dan dua garis di sebelah kirinya, kemudian beliau bersabda: "Ini adalah jalan setan". Kemudian beliau meletakkan tangan beliau pada garis yang paling tengah, kemudian beliau membaca Firman Allah: "dan bahwa ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (H.R. Ahmad)

Jelaslah dari hadits ini, bahwa sesiapa yang mengikiti Allah dan Rasulullah, maka ia telah berada di atas jalan yang lurus, berada di atas Shirathal Mustaqiim.

Apakah Shirathal mustaqiim itu? Juga telah dijelaskan oleh ayat ke-7 dari Surah Al-Fatihah, yaitu: Shiraathal-ladziina an'amta 'alaihim, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka yaa Allah, bukan jalan yang sebaliknya: Ghairil magdhubi 'alaihim wa ladh-dhaaalliiin, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai ataupun yang tersesat (ayat ke-7)

Siapakah yang dimaksud dengan alladziina an'amta 'alaihim, orang-rang yang Engkau beri nikmat atas mereka?, diterangkan oleh Allah dalam ayat yang lain:
Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (Q.S. An-Nisa: 69)

Mereka yang diberi nikmat itu, kata Allah adalah: Nabi-Nabi, para shiddiiqiin, syuhada dan orang-orang sholeh.
Ibnu Jarir meriwayatkan dalam tafsirnya, bahwa ayat ini turun tatkala sebagian sahabat beliau berkata: Wahai Rasulullah, Tidak selayaknya bagi kami meninggalkanmu di dunia ini, namun apabila engkau telah berpisah dengan kami (wafat), engkau akan diangkat di atas kami, maka kami tidak akan lagi dapat melihat engkau, maka Allah meurunkan ayat ini. (R. Ibnu Abi Syaibah)

Yang dimaksud dengan lafaz "Dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya", bahwa mereka adalah sebaik-baik kawan di sorga. Mereka (orang-orang yang taat pada Allah dan Rasul) bersenang-senang dengan melihat mereka (Para Nabi, para shiddiqiin, syuhada dan orang-orang sholeh) dan hadir dalam majlis mereka, karena mereka turun kepada mereka, kemudian kembali ke posisi dan derajat mereka yang tinggi. (Abu Bakar Al-Jazaa`iri, Aysar at-Tafaasiir)

Jelaslah, bahwa maksud ayat Ihdinash-shiraathal mustaqiim ini, bahwa kita minta agar dapat istiqamah di jalan yang lurus ini, senantiasa mentaati Allah dan Rasul-Nya hingga akhir hayat, sehingga bisa dipertemukan dengan kelompok para Nabi, para shiddiqiin, syuhada dan orang-orang sholeh di sorga yang mulia.

Itulah yang kita pinta dalam setidaknya tujuh belas kali sehari-semalam dalam bacaan Al-Fatihah kita.

Dan kita berlindung kepada Allah, mohon agar dijauhkan dari jalan yang sebaliknya: Ghairil magdhubi 'alaihim wa ladh-dhaaalliiin, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai ataupun yang tersesat. Siapakah mereka?

Diriwayatkan dari Abi bin Hatim Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اليهود مغضوب عليهم والنصارى ضُلاَّل

"Yahudi itu dimurkai dan Nashrani itu tersesat" (H.R. Tirmidzi, Kitab Tafsir, Bab Surah Fatihatul Kitab/ 2878).

Lalu apakah yang lain tidak termasuk? Bagaimana dengan orang-orang musyrik penyembah berhala? Tentunya mereka ini tidak perlu dibahas lagi, itu sudah pasti. Bila yang "ahli kitab" saja seperti itu, apalagi yang musyrik penyembah berhala bahkan yang atheis.

Wallahu a'lam

Penguasa Dunia (Q.S. An-Nur/ 24)


Pembacaan Ayat Suci Al-Qur`an oleh Syekh Musyari Rasyid di Banjar TV pada ba'da magrib tanggal 18 Nopember 2009 telah memasuki Surah An-Nur. Sebelum tadabbur singkat saya terhadap surah ini menghilang dari ingatan, ingin saya tuliskan dalam catatan singkat agar bisa selalu menjadi pengingat, dan mungkin bisa jadi bahan renungan buat yang lain juga... Tulisan ini telah saya tuliskan dalam catatan saya di Facebook. Saya tulis kembali di blog ini (dengan sedikit revisi) agar bisa dibaca secara umum. Semoga bermanfaat.

Q.S. An-Nur adalah surah ke-24. Surah ini terdiri dari 64 ayat (tidak termasuk basmalah). hampir separoh dari surah ini bicara masalah hukum. Sisanya bicara masalah keimanan, hubungan antara keimanan dan ketaatan serta balasan dari ketaatan.

Pembicaraan tentang masalah hukum telah ditegaskan sejak ayat pertama:

"(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan dia (untuk dilaksanakan), dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya."

Ayat-ayat hukum dalam ayat ini adalah:
  • Tentang had penzina (yang belum pernah menikah) serta cara pelaksanaannya (ayat 2)
  • Ketentuan persaksian bagi yang menuduh orang lain berzina serta hukuman bagi yang tidak memenuhi persyaratan tersebut (ayat 4)
  • Hukum Li'an (ayat 6-10)
  • Tentang "Hadits Ifqi" (cerita bohong yang menimpa 'A`isyah radhiyallahu 'anha) (ayat 11-26). Sebuah pelajaran yang amat sangat berharga. Peristiwa ini terjadi karena tidak mengindahkan aturan tentang ayat sebelumnya (tentang persaksian). Ayat ini juga menjadi pelajaran amat berharga bagi kita pada masa di mana media informasi begitu mudah menyebarkan gosip-gosip dan suka dianggap sebagai masalah yang remeh.
  • Masih berkaitan dengan hukum tentang perzinaan, adalah hukum tentang perintah untuk meminta izin bila masuk rumah orang lain (ayat 27-29), serta minta ijin jika ingin masuk ruang kamar bagi orang-orang tertentu pada saat tertentu (ayat 57-61). dan masih berkaitan juga dengan hal itu, adalah perintah untuk menjaga pandangan (ayat 30-31). Sebagaimana telah disebutkan dalam catatan saya tentang "Beberapa Adab Bertamu", Rasulullah bersabda: “Hanya saja syari’at meminta ijin itu diadakan untuk menjaga pandangan” (H.R. Bukari). Jadi antara ayat-ayat tersebut masih saling berkaitan.
  • Selain bicara masalah hukum zina, menuduh zina, antisipasi zina dengan menjaga pandangan dan perintah untuk meminta ijina, Allah juga memberikan solusi dengan syari'at MENIKAH (ayat 32) serta menahan diri bagi yang belum mampu agar tetap menjaga kehormatan mereka (tidak berzina) (ayat 33).
Selain tentang hukum-hukum di atas, Allah juga bicara cukup panjang lebar tentang masalah yang berkaitan dengan keimanan: tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan Allah, karunia Allah, juga tentang keingkaran orang-orang yang kufur terhadap hukum dan ketentuan-ketentuan Allah, padahal semsta Alam bertasbih men-sucikan Allah.... (ayat 35-50).
Selanjutnya Allah menyebutkan sikap yang seharusnya diambil oleh orang yang beriman, yaitu taat secara mutlak (ayat 51-54 dan ayat 62). Allah berfirman dalam ayat 64: "Sesungguhnya jawaban oran-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."

Sebagai balasan bagi ketaatan mereka pada syari'at Allah tersebut, Allah menjanjikan mereka menjadi PENGUASA DUNIA... (ayat 55). Allah berfirman: "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang kafir sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik."

Apakah umat Islam kini menjadi penguasa dunia? Jika tidak, maka intropeksilah: sudah sejauh mana penerapan umat Islam terhadap syari'at Allah ini?

Lebah Makan Buah?


وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ (٦٨)
ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia". Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.
(Q.S. An-Nahl : 68-69)


“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan…”
Lebah makan buah? Bukankah yang dimakan oleh lebah itu sari bunga, bukan buah? “Pertanyaan” ini lahir dalam sebuah ruang “Tanya-jawab” di Yahoo! Answer> Masyarakat dan Budaya> Agama dan Kepercayaan. Sebuah keheranan dari seorang non-muslim dalam membaca ayat tersebut… Yang kemudian dikemukakan dengan maksud untuk memojokkan Al-Qur`an. Rasa heran yang sama bisa saja menghinggapi siapa saja, bahkan juga seorang Muslim. Karena ketidak fahaman terhadap bahasa Al-Qur`an, tidak mustahil kemudian memicu sebuah anggapan bahwa Al-Qur`an aneh, bahasanya rancu, dan lain sebagainya…

Keheranan tersebut tidak akan muncul seandainya dia memahami Bahasa Arab dan sastranya, yang mana dengannya Al-Qur`an diturunkan. Bahkan akan berganti dengan kekaguman akan keindahan susunan bahasanya.

Jika dibahas dari segi sastra Arab (Ilmu Balaghah), lafaz ayat tersebut termasuk Mujaz Mursal. Majaz Mursal adalah sebuah perkataan yang dipergunakan bukan pada maknanya yang sesungguhnya, karena adanya ‘alaqah (hubungan) antara kata yang dilafazkan tersebut dengan makna yang dikehendaki, yang mana ‘alaqahnya tersebut bukan (perumpamaan), serta adanya musyabbahahqarinah (indikasi) yang menghalangi kata tersebut difahami secara maknanya yang asli.

Qarinah (indikasi, yang menghalangi makna kata tersebut difahami secara hakiki) ada dua macam: lafziyyah (secara lafaz) dan haliyah (hal yang dapat difahami dari konteks kalimat). Dalam lafaz ayat tersebut, qarinahnya adalah lafziyyah, yaitu lafaz “dari tiap-tiap (macam) buah-buahan”. Suatu hal yang mustahil lebah makan buah. Semua akal sehat menyatakan demikian.

Mustahil lebah makan buah. Lebah tidak makan buah, tapi yang dimakan oleh lebah adalah saripati bunga sebelum menjadi buah. Selain memakan saripati bunga, lebah juga membantu penyerbukan pada bunga tersebut sehingga bisa menghasilkan buah. Disebabkan karena proses tersebut, maka terjadilah pembuahan. Berbagai macam buah-buahan disebabkan oleh karena terjadinya proses tersebut, maka ‘alaqah dalam lafaz ayat ini adalah sababiyah (hubungan sebab-akibat).

Dari sini dapat difahmai, makna lafaz ayat tersebut: “Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) saripati bunga. Dengan begitu terjadilah penyerbukkan dan membuahkankan aneka macam buah-buahan (yang bisa dimanfaatkan oleh manusia)…”.

Diantara ayat lain yang diungkapkan dalam bentuk yang demikian adalah Q.S. Al-Mu’min (40) ayat 13:

Dia-lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu rezki dari langit. dan Tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah).”

Lalu kenapa diungkapkan dengan uslub (susunan bahasa) yang demikian? Dari sisi balaghah al-kalam (keindahan susunan kalimat):
  • Jika kita perhatikan, pengungkapan kalimat dengan Majaz biasanya menyebabkan pengungkapan kata menjadi lebih I’jaz (kalimatnya ringkas namun maknanya dalam dan panjang bila diuraikan).
  • Manifestasi balaghah lain yang terdapat dalam penggunaan majaz ini adalah kelihaian dalam memilih ‘alaqah antara makna hakiki dan makna majazi, sehingga majaz dapat memberikan gambaran makna yang dimaksud dengan gambaran yang sebaik-baiknya.
  • Apabila dicermati lebih jauh, bentuk Majaz selalu bombastis, indah dan mendatangkan pengaruh dalam jiwa serta menarik jiwa untuk menghayati dan akal untuk memikirkan.

Secara makna, kita bias mengambil ibrah dari lafaz ayat yang ringkas tersebut:
  • Menerangkan salah satu proses penyerbukan tanaman, yaitu melalui bantuan hewan penghisap saripati bunga, yang diantaranya adalah lebah (dalam ayat lain di Q.S.15:22 diterangkan juga dengan bantuan angin), dan semua itu adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang memikirkan.
  • Ayat tersebut menerangkan tentang nikmat Allah yang diberikan kepada manusia melalui lebah. Yang nampak secara lahiriyah (dan diwujudkan dengan ungkapan yang dzahir) adalah nikmat berupa madu yang berfungsi untuk keperluan konsumtif dan obat. Namun ada nikmat lain melalui lebah yang tidak kalah pentingnya namun kadang dilupakan orang karena tersembunyinya/ tidak nampak, yaitu membantu proses penyerbukkan bunga hingga menjadi buah yang bisa dinikmati oleh manusia.
  • Menerangkan hukum sebab-akibat, yaitu penyerbukkan terjadi disebabkan oleh lebah. Namun jangan kemudian menyembah dan menuhankan hukum sebab-akibat serta melupakan bahwa Allah-lah pencipta dan yang menetapkan hukum tersebut. Lebah tetap berada dibawah perintah dan kendali Allah, maka janganlah sombong dan kufur terhadap nikmat Allah. Tidak sedikit kaum materialis yang terjebak pada menuhankan hukum sebab akibat ini.
Ungkapan seperti itu mungkin juga ada dalam bahasa lain, walau mungkin tidak diakui sebagai sebuah keindahan bahasa, bahkan mungkin akan dianggap sebagai sebuah kesalahan tata bahasa. Umpamanya ungkapan “jasa guru sangat besar dalam mendidik para sarjana”. Maksudnya tentu bukan para sarjana yang dididik, namun mendidik murid-murid mulai TK hingga perguruan tinggi, sehingga akhirnya melahirkan para sarjana.

Ungkapan kalimat seperti diungkapkan dalam ayat tersebut adalah hal yang biasa dalam ungkapan Bahasa Arab, bahkan terdapat keindahan dalam pengungkapan kalimat seperti itu dalam dzauq (cita rasa) Bahasa Arab. Dan Al-Qur`an diturunkan dalam Bahasa Arab, maka cita rasa bahasanya hanya dapat dipahami dan dihayati bila memahami Bahasa Arab.

Tidak mengherankan bila orang-orang non Islam tersebut terheran-heran dengan susunan bahasa Al-Qur`an, karena mereka memang tidak memahami Bahasa Arab. Terlebih lagi, Kitab Suci mereka sudah kehilangan keistimewaan ini. Ketika mereka ditanya “Bagaimana metode memahami Kitab Suci anda?”, mereka akan bingung dan keluarlah jurus andalan “dengan bimbingan Roh Suci”.

Ini hanyalah sedikit dari sekian banyak keindahan bahasa Al-Qur`an. Sebuah bukti kemu’jizatan Al-Qur`an yang abadi. Tidak jarang orang-orang kafir yang berupaya menghujat Al-Qur`an justru bertekuk lutut karenanya, diantaranya adalah Dr. Ibrahim Khalil Ahmad, seorang mantan tokoh Kristen di Mesir.

Semoga kita bisa lebih menghayati dan mengamalkan Al-Qur`an…

Wallahu A’lam

(Tulisan ini juga telah di tulis dalam “catatan” penulis di Facebook)

'Iddah dan Ruju' (Q.S.2 : 228)

بسم الله الرحمن الرحيم

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Wanita-wanita yang ditalak

handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.

Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya

menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami,

mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada

isterinya. dan Allah Maha Perkasa

lagi Maha Bijaksana.

(Al-Baqarah : 228)

I. Pengantar:

Setelah dalam ayat sebelumnya (Al-Baqarah: 227) Allah berbicara tentang hukum Iyla`, yang mana diantara kandungan hukumnya adalah perintah kepada suami agar mengambil keputusan yang tegas untuk melanjutkan tali pernikahan atau menjatuhkan thalaq, maka setelah itu (dalam ayat ini) diiringi penjelasan tentang hukum yang berkaitan dengan sebagian hukum thalaq (yaitu ‘iddah dan ruju’). Maka Allah Subhanahu waa Ta’ala Berfirman (tentang ‘iddah) :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditahalaq (hendaklah) menahan diri (menunggu) tiga kali quru’

Kemudian Berfirman (tentang ruju’) :

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا

Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.

Sebelum menafsirkan ayat ini, sepatutnya kita berhenti sejenak untuk menyingkap balagah Al-Qur`an yang terdapat di dalam ayat ini serta memahami makna-makna lughawi (kebahasaan) dari teks ayat yang mulia ini.

II. Tentang ‘Iddah

A. Makna-Makna Lughawi Teks Ayat

1. Kenapa dalam ayat ini hukum diturunkan dalam shigat (bentuk) kabar, padahal maksudnya adalah perintah (amr)? Allah Berfirman (artinya): “Wanita-wanita yang ditahalaq (hendaklah) menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”.

a. Hukum didatangkan dalam bentuk jumlah khabariyah dan tidak dalam shigat perintah adalah untuk memberikan makna penegasan perintah (li ifadah ta`kid al-amr) serta peringatan bahwa hal tersebut adalah sesuaatu yang harus segera dilaksanakan, maka digambarkan seolah-olah mereka (istri-istri yang dithalaq tersebut) telah melaksanakan perintah dengan menahan diri (menunggu) dan Allah mengkhabarkan tentang apa yang sedang terjadi.

Penggunaan lafaz seperti ini sama seperti penggunaan lafaz yang umum dipergunakan dalam keseharian yang dipergunakan untuk mendo’akan (biasanya diucapkan dalam komunikasi), yaitu : رحمك الله (semoga Allah merahmatimu). Diungkapkan kalimat ini dalam bentuk khabar sebagai pengokohohan (harapan) akan terkabulnya, seolah-olah rahmat itu telah diperoleh dan si pengucap mengkhabarkan tentang hal tersebut.

b. Untuk menolak anggapan bahwa iddahnya wanita yang dithalaq itu tidak berlaku kecuali apabila si wanita tersebut mengetahuinya. Diungkapkan hukum dalam bentuk khabar untuk menolak anggapan ini dan menjelaskan bahwa Iddahnya berlalu seiring berlalunya waktu, baik dia mengetahui thalaq ataupun tidak. Ta’bir seperti ini terkenal dalam Al-Qur`an al-Karim ketika menghendaki pengokohan (hukum) dan perhatian..

2. Kenapa isim didahulukan daripada fi’il? Allah Berfirman: والمطلقات يتربصن dan tidak menggunakan susunan: يتربصن المطلقاب .

Sebab ketika musnad ilaih yang disebutkan pertama akan menumbuhkan rasa penasaran jiwa untuk mengetahui khabarnya, sehingga jiwa lebih bersiap sedia mendengarkan apa yang akan dikatakan selanjutnya, dan apabila disebutkan khabar setelah itu maka khabar tersebut akan menempati posisi yang agung dalam jiwa, sehingga terngiang dalam jiwa bahwa mereka diperintah dengan hukum tersebut sebagai sebuah perkara yang mengokohkan.

3. Apa makna “menahan diri” ( التربص )?

At-Tarabbush, makna secara lahiriyahnya adalah “perlahan dan menunggu” ( التريث والانتظار ), yaitu berhubungan dengan sesuatu (objek) yang harus dinanti dan menunggu selesainya batas yang ditentukan. Perkara (objek) yang ditunggu dan dinantikan oleh wanita (yang dithalaq) tersebut adalah menikah. Allah tidak ingin menampakkan rasa rindu dan hasrat yang ada dalam jiwa mereka secara vulgar, melainkan dengan bahasa kinayah dan diisyaratkan dengan Firman-Nya: يتربصن بأنفسهن . Hal ini untuk menjaga perasaan mereka dan agar jangan membuat mereka malu, karena biasanya apabila wanita diketahui keinginan dan hasratnya sangat besar untuk menikah, orang justru akan menjauhi.

4. Makna Quru’

Quru’ ( القرء ) secara asal maknanya “waktu/masa”. Masa haid disebut quru’ demikian juga masa suci, karena kedua-duanya mempunyai masa yang telah dimaklumi. Orang Arab biasa mengucapkannya, kadang untuk menunjukkan arti suci dan terkadang untuk menunjukkan arti haid. lafaz ini adalah lafaz yang musytarak antara haid dan suci.

Ulama salaf berselisih pendapat tentang makna quru’ dalam ayat tersebut. Diriwayatkan dari Ali, ‘Umar, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Mujahid, Qatadah dan ‘Alqamah bahwa (mereka berpendapat) maknanya adalah haid. Fuqaha Irak yang dipelopori oleh Abu Hanifah berpendapat dengan pendapat mereka ini.

Diriwayatkan pula dari ‘Aisyah, Ibnu Umar dan Zaid bahwa (mereka berpendapat) maknanya adalah suci. Pendapat mereka ini dipegang oleh fuqaha Hijaz yang dipelopori oleh Imam Malik, dan kemudian diadopsi juga oleh Imam Syafi’i.

Perselisihan ulama salaf tersebut menjadi dasar perselisihan ulama setelah mereka, maka ulama-ulama Hanafiyah berpendapat bahwa makna quru’ adalah haid, berdasar pada hadits Rasulullah: “ دعى الصلاة أيام أقرئك ” (tinggalkanlah sholat pada masa-masa quru’mu). selain itu juga karena maksud secara asal dari ‘Iddah adalah kosongnya rahim, sedangkan intinya ada pada haid.

Syafi’iyyah dan yang lain berpendapat bahwa arti quru’ adalah suci, maka masa iddah menurut mereka adalah tiga kali suci. bila ingin mengkaji lebih jauh dalil-dalil mereka bisa dilihat dalam Tafsir Fakhrur-Razi tentang ayat ini.

B. Makna Secara Umum

Demikianlah, sesungguhnya iddah itu telah diwajibkan. (Diantara hikmahnya) adalah agar jelas bahwa rahim benar-benar kosong dari anak (tidak hamil) sehingga terhindar dari kontroversi masalah nasab.

(Diantara hikmahnya juga) adalah untuk memberikan kesempatan kepada suami untuk intropeksi diri setelah reda amarahnya serta tenang jiwanya. boleh jadi dia akan berfikir bahwa meruju’ istrinya itu lebih baik daripada meneruskan perceraian, terlebih kalau hasil pernikahannya tersebut telah membuahkan anak, atau ada ikatan silaturrahim (keluarga) yang dapat tetap terjaga dengan adanya ikatan pernikahan antara mereka.

Dalam ayat tersebut Allah juga melarang wanita yang dithalaq menyembunyikan apa yang terjadi dalam rahim mereka. Allah berfirman (yang artinya): “Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat”.

Para ulama berselisih tentang maksud dari “apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya”, apakah maknanya adalah kehamilan atau haid? Menurut saya, pendapat yang paling sesuai maknanya adalah kedua-duanya: haid dan hamil, karena adakalanya wanita menyembunyikannya dengan maksud-maksud tertentu (yang terlarang).

Kadang wanita (yang dithalaq) menyembunyikan kehamilan agar masa iddah lebih singkat, sehingga ia bisa segera menikah lagi, padahal perbuatan yang demikian adalah seburuk-buruk penipuan dan kedustaan, karena dengannya akan terjadi pendomplengan anak kepada orang yang tidak semestinya. Perbuatan seperti ini kadang-kadang pernah terjadi pada masa jahiliyah dimana seorang wanita segera menikah lagi dengan seorang laki-laki lain setelah bercerai dari suami yang pertama. Ia tahu bahwa ia telah hamil dengan suaminya yang pertama, tetapi dia menasabkan anaknya dengan suaminya yang kedua, dan hal ini diharamkan dalam Islam.

Adapun menyembunyikan haid, adakalanya bertujuan untuk memperpanjang masa iddah dengan harapan agar suaminya tergerak untuk meruju’nya, atau karena tamak dengan nafkah iddah, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian wanita yang dithalaq pada masa ini, karena hakim mewajibkan pada suami untuk memberi mereka nafkah selama dalam masa iddah..

Dari sini dapat kita fahami (mengapa) Allah memberikan peringatan dan wanti-wanti dengan Firman-Nya (yang artinya): “Jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat”, seolah-olah Dia berFirman: Jika kalian mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, dimana (pada hari akhir itu) akan ada perhitungan dan balasan (atas segala amalan), maka janganlah kalian menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahim kalian, karena hal ini (selain Allah) tidak ada yang mengetahuinya kecuali dari pihak kalian (yang memberitahukan). Oleh saebab itu, dalam hal ini wanita dianggap dapat dipercaya dalam masalah iddah mereka, dan keputusan apakah telah selesai atau belumnya iddah ada pada keputusan mereka, maka apabila mereka menyembunyikannya (dengan berdusta) maka mereka dianggap tidak beriman dengan hukum yang diturunkan Allah untuk kemaslahatan seluruh umat.

III. Tentang Ruju’

Diantara hukum (yang berkaitan dengan) masalah thalaq adalah tentang ruju’, yaitu seorang suami kembali (melanjutkan tali pernikahan) selama masih dalam masa iddah. Allah Berfirman:

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا

Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.

Imam AR-Razi berkata tentang lafaz بعولة :

Pertama, lafaz tersebut adalah bentuk plural dari kata بعل sebagaimana lafaz fuhulah, dzkurah, jududah dan ‘umumah. sedangkan huruf ta’ marmuthah di akhirnya adalah sebagai tambahan yang berfungsi untuk mengokohkan pemu`annatsan bentuk jama’ (bentuknya sima’i). Isimnya البعل , yaitu apa-apa yang bersekutu padanya dua sejoli, sebagaimana lafaz الزوج , maka (pasangan) untuk seorang wanita itu dikatakan بعلة sebagaimana juga disebut زوجة . Dan suami itu disebut بعل , dan asal maknanya “tuan pemilik”.

Kedua, lafaz tersebut adalah bentuk masdar.

Makananya: Suami-suami dari wanita yang dithalaq itu lebih berhak untuk meruju’ mereka dalam masa ‘iddah mereka jika suami-suami tersebut menginginkan ishlah, tidak menginginkan kemudharatan kepada wanita tersebut. Jika suami tersebut ingin menimbulkan kemudharatan maka ia tidak punya hak secara syar’i untuk ruju’. hal ini berlaku dalam thalaq raji’.

Ruju’ artinya melanjutkan pernikahan yang telah berlangsung selama istri masih dalam masa iddah, dan ini adalah hak yang melekat pada suami tanpa terikat dengan kerelaan dari pihak istri. Suami berhak meruju’-nya, baik istri rela ataupun tidak, dan ruju’ ini tidak memerlukan mahar dan akad baru, dan bisa terjadi baik dengan perbuatan maupun dengan perkataan.

A. Hukum Thalaq Raji’

1. Hak (dan kewajiban) masing-masing tetap masih melekat pada mereka berdua, dan wanita yang dithalak wajib tinggal di rumah di mana suaminya tinggal.

2. Apabila salah satu dari keduanya meninggal maka mereka tetap saling mewarisi selama masih dalam masa iddah.

3. Suami tidak boleh mengulur-ulur sedekah

Setiap thalak itu dijatuhkan maka itu mengurangi jatah thalaq yang dimiliki oleh suami (Q.S. 2:229). Apabila jatah thalaq itu telah habis, apabila masa iddah telah berakhir namun suami tidak juga meruju’-nya, maka terputuslah ikatan pernikahan dan yang berlaku adalah Thalaq Bain.

B. Hak-Hak Suami-Istri

Tatkala suami menginginkan ishlah (perdamaian) dengan meruju’ istrinya, maka suami berkewajiban menegakkan hak-hak istri, demikian pula sebaliknya, istri berkewaajiban menunaikan hak-hak suami, dan Allah telah mengisyaratkan hak-hak masing-masing mereka dengan firman-Nya (yang artinya): “dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Akad nikah dalam syari’at Islam bukanlah berarti akad pengasingan dan kepemilikan. Akan tetapi akad tersebut adalah akad untuk saling menunaikan hak masing-masing, hanya saja suami diberikan kekhususan hak atas istrinya yang tidak diberikan kepada istri: “akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya”. Satu tingkatan derajat ditafsirkan dengan Firman Allah (yang artinya): “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”. (Q.S. 4:34)

Dalam kalimat ayat yang singkat ini terkandung ikatan yang kokoh bagi keluarga Muslim, bahwa para istri memberikan hak kepada suami setara dengan pergaulan suaminya kepada istrinya dalam segala situasi dan kondisi. Apabila suami berkeinginan menuntut sesuatu hal dari istrinya maka ia akan teringat bahwa dia juga berkewajiban atas istrinya semisal itu, oleh karena itu Ibnu Abbas berkata sehubungan dengan ayat ini: “Sesungguhnya aku berhias untuk istriku sebagaimana dia berhias untuk aku”.

Yang dimaksud di sini bukan berarti sama persis dalam segala hal dan spesifikasinya, hanyasaja maksudnya adalah bahwa hak-hak diantara mereka saling melengkapi. Kehidupan rumah tangga yang bahagia tidak mungkin tercapai kecuali dengan saling percaya dan saling bertukar pandangan, dan masing-masing melaksanakan hak pasangannya terlebih dahulu sebelum (menuntut) yang lain.

Ayat ini belum menjelaskan secara rinci tentang hak masing-masing keduanya. Hal tersebut diterangkan dalam ayat-ayat yang lain serta penjelasan dari (hadits) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

C. Hak-Hak Istri

Hak-hak istri atas suaminya meliputi hak-hak material/ lahiriyah dan hak-hak non-materiel/ Bathiniyah. Hak Materiel istri diantaranya adalah: Mahar (Q.S. 4:4) dan Nafkah (QS. 65:6). sedangkan hak-hak non-materiel diantaranya adalah: Menpergauli mereka dengan cara yang baik (Q.S. 4:19), bila berpoligami maka tidak boleh menampakkan kecendrungan kepada salah satu istri saja (Q.S. 4:129)

D. Hak –Hak Suami

Sebagaimana telah diterangkan oleh Allah, diantara hak-hak suami atas istrinya adalah: menjaga dirinya (kehormatannya), menjaga harta suaminya serta mentaatinya (karena suami adalah pemimpin) (Q.S. 4:34).

Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, bahwa ia berkata: Seorang wanita menemui Rasulullah kemudian bertanya: Wahai Rasulullah, Apakah hak suami atas istrinya? Rasulullah bersabda: “Janganlah istri bersedekah dengan harta suaminya sedikitpun kecuali atas ijin suaminya, seandainya ia tetap melakukan hal itu maka pahalanya adalah untuk suami sedangkan istri akan mendapatkan dosa”. Wanita tersebut bertanya lagi: Apa (lagi) hak suami atas istrinya? Beliau bersabda: “Hendaklah si istri tidak keluar dari rumah suaminya kecuali dengan ijinnya dan hendaklah ia tidak berpuasa walaupun sehari kecuali dengan ijin suaminya.

Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sasllam: “sebaik-baik istri adalah seorang wanita yang apabila engkau (sebagai suami) memandangnya maka dia menyenangkan (pandanganmu), bila engkau menyuruhnya maka ia mentaati, dan bila engkau sedang tidak berada di sisinya maka dia menjaga dirinya untukmu dan menjaga hartamu”.

E. Hak-Hak Bersama Antara Suami dan Istri

1. Hak untuk “bersenang-senang”. Masing-masing punya hak untuk “bersenag-senang” dengan pasangannya selama tidak ada halangan (seperti haid, siang hari bulan Ramadhan, dll).

2. Menghormati perbesanan dalam artian si suami dan istri menghormati orang tua pasangannya beserta keluarga besarnya sebagaimana ia menghormati orang tua dan keluarga besarnya sendiri.

3. Tetapnya berlaku saling mewarisi

4. Tetap berlaku nasab anak disandarkan pada suami-istri

5. Bergaul dengan baik

IV. Penutup

Seandainya wanita-wanita kaum Muslimin merenungkan nash yang mulia ini niscaya mereka akan melihat kedudukan yang tinggi yang telah Allah angkatkan untuk mereka, yang mana kedudukan ini tidak pernah dicapai oleh umat mana-pun sebelum Islam ataupun setelahnya, hingga pada umat yang paling mulia dari bangsa eropa saat ini sekalipun.

Adapun Firman Allah (yang artinya) : “akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya”, maka maksudnya adalah derajat dalam hal kepemimpinan, kemuliaan (harus dihormati) dan menegakkan kemashlahatan; karena kehidupan berumah tangga adalah kehidupan kemasyarakatan (social), dan setiap masyarakat mesti memiliki seorang pemimpin yang mengatur segala urusannya, karena dalam kehidupan bermasyarakat pasti tidak lepas dari perselisihan pendapat dalam beberapa perkara, dan mereka tidak akan dapat mencapai kemaslahatan mereka kecuali bila mereka memiliki seorang pemimpin yang dapat dipegang pendapatnya. Laki-laki lebih berhak atas kepemimpinan ini, karena ia lebih memungkinkan untuk melaksanakan (kepemimpinan) dengan kekuatannya dan hartanya. Dari sana maka ia dituntut untuk melindungi wanita (istri) dan memberi mereka nafkah, sementara si istri dituntut mentaati suami dengan cara yang baik. Jika istri tersebut membangkan dari ketaatannya (nusyuz), maka si suami wajib mendidiknya dengan cara memberikan nasehat, pisah ranjang, atau memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai dan tidak menyakiti, melainkan untuk maksud mendidik (ta`dib=membuat dia jadi lebih beradab), kesemuanya itu dibolehkan bagi pemimpin rumah tangga demi tegaknya hubungan rumah tannga.

Adapun penganiayaan terhadap istri untuk menguasai, balas dendam dan menyiksa, maka perbuatan tersebut adalah sebuah kedzaliman yang tidak dibenarkan sama sekali, dan Allah akan membalas siapa saja yang menyalahi hukum-hukum ini. Syari’at-Nya mengandung hikmah-hikmah dan kemaslahatan-kemaslahatan, dan sesungguhnya Allah Maha Peraakasa Lagi Maha Bijaksana.

Diterjemahkan secara bebas dan ringkas dari:

Prof. Abdul Adzhim Ma’ani dan Dr. Ahmad Al-Ganrur, “Ahkâm Min al-Qur`ân wa as-Sunnah: Lugah, Ijtima’, Tasyri’”, (Al-Manar, tt), hal. 65-79

107. SURAH AL-MAA'UUN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (١)

1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?

فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (٢)

2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,

وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (٣)

3. dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (٤)

4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,

الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (٥)

5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,

الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (٦)

6. orang-orang yang berbuat riya,

وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (٧)

7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

Postingan Lama