Blogger Template by Blogcrowds

'Iddah dan Ruju' (Q.S.2 : 228)

بسم الله الرحمن الرحيم

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Wanita-wanita yang ditalak

handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.

Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya

menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami,

mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada

isterinya. dan Allah Maha Perkasa

lagi Maha Bijaksana.

(Al-Baqarah : 228)

I. Pengantar:

Setelah dalam ayat sebelumnya (Al-Baqarah: 227) Allah berbicara tentang hukum Iyla`, yang mana diantara kandungan hukumnya adalah perintah kepada suami agar mengambil keputusan yang tegas untuk melanjutkan tali pernikahan atau menjatuhkan thalaq, maka setelah itu (dalam ayat ini) diiringi penjelasan tentang hukum yang berkaitan dengan sebagian hukum thalaq (yaitu ‘iddah dan ruju’). Maka Allah Subhanahu waa Ta’ala Berfirman (tentang ‘iddah) :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditahalaq (hendaklah) menahan diri (menunggu) tiga kali quru’

Kemudian Berfirman (tentang ruju’) :

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا

Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.

Sebelum menafsirkan ayat ini, sepatutnya kita berhenti sejenak untuk menyingkap balagah Al-Qur`an yang terdapat di dalam ayat ini serta memahami makna-makna lughawi (kebahasaan) dari teks ayat yang mulia ini.

II. Tentang ‘Iddah

A. Makna-Makna Lughawi Teks Ayat

1. Kenapa dalam ayat ini hukum diturunkan dalam shigat (bentuk) kabar, padahal maksudnya adalah perintah (amr)? Allah Berfirman (artinya): “Wanita-wanita yang ditahalaq (hendaklah) menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”.

a. Hukum didatangkan dalam bentuk jumlah khabariyah dan tidak dalam shigat perintah adalah untuk memberikan makna penegasan perintah (li ifadah ta`kid al-amr) serta peringatan bahwa hal tersebut adalah sesuaatu yang harus segera dilaksanakan, maka digambarkan seolah-olah mereka (istri-istri yang dithalaq tersebut) telah melaksanakan perintah dengan menahan diri (menunggu) dan Allah mengkhabarkan tentang apa yang sedang terjadi.

Penggunaan lafaz seperti ini sama seperti penggunaan lafaz yang umum dipergunakan dalam keseharian yang dipergunakan untuk mendo’akan (biasanya diucapkan dalam komunikasi), yaitu : رحمك الله (semoga Allah merahmatimu). Diungkapkan kalimat ini dalam bentuk khabar sebagai pengokohohan (harapan) akan terkabulnya, seolah-olah rahmat itu telah diperoleh dan si pengucap mengkhabarkan tentang hal tersebut.

b. Untuk menolak anggapan bahwa iddahnya wanita yang dithalaq itu tidak berlaku kecuali apabila si wanita tersebut mengetahuinya. Diungkapkan hukum dalam bentuk khabar untuk menolak anggapan ini dan menjelaskan bahwa Iddahnya berlalu seiring berlalunya waktu, baik dia mengetahui thalaq ataupun tidak. Ta’bir seperti ini terkenal dalam Al-Qur`an al-Karim ketika menghendaki pengokohan (hukum) dan perhatian..

2. Kenapa isim didahulukan daripada fi’il? Allah Berfirman: والمطلقات يتربصن dan tidak menggunakan susunan: يتربصن المطلقاب .

Sebab ketika musnad ilaih yang disebutkan pertama akan menumbuhkan rasa penasaran jiwa untuk mengetahui khabarnya, sehingga jiwa lebih bersiap sedia mendengarkan apa yang akan dikatakan selanjutnya, dan apabila disebutkan khabar setelah itu maka khabar tersebut akan menempati posisi yang agung dalam jiwa, sehingga terngiang dalam jiwa bahwa mereka diperintah dengan hukum tersebut sebagai sebuah perkara yang mengokohkan.

3. Apa makna “menahan diri” ( التربص )?

At-Tarabbush, makna secara lahiriyahnya adalah “perlahan dan menunggu” ( التريث والانتظار ), yaitu berhubungan dengan sesuatu (objek) yang harus dinanti dan menunggu selesainya batas yang ditentukan. Perkara (objek) yang ditunggu dan dinantikan oleh wanita (yang dithalaq) tersebut adalah menikah. Allah tidak ingin menampakkan rasa rindu dan hasrat yang ada dalam jiwa mereka secara vulgar, melainkan dengan bahasa kinayah dan diisyaratkan dengan Firman-Nya: يتربصن بأنفسهن . Hal ini untuk menjaga perasaan mereka dan agar jangan membuat mereka malu, karena biasanya apabila wanita diketahui keinginan dan hasratnya sangat besar untuk menikah, orang justru akan menjauhi.

4. Makna Quru’

Quru’ ( القرء ) secara asal maknanya “waktu/masa”. Masa haid disebut quru’ demikian juga masa suci, karena kedua-duanya mempunyai masa yang telah dimaklumi. Orang Arab biasa mengucapkannya, kadang untuk menunjukkan arti suci dan terkadang untuk menunjukkan arti haid. lafaz ini adalah lafaz yang musytarak antara haid dan suci.

Ulama salaf berselisih pendapat tentang makna quru’ dalam ayat tersebut. Diriwayatkan dari Ali, ‘Umar, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Mujahid, Qatadah dan ‘Alqamah bahwa (mereka berpendapat) maknanya adalah haid. Fuqaha Irak yang dipelopori oleh Abu Hanifah berpendapat dengan pendapat mereka ini.

Diriwayatkan pula dari ‘Aisyah, Ibnu Umar dan Zaid bahwa (mereka berpendapat) maknanya adalah suci. Pendapat mereka ini dipegang oleh fuqaha Hijaz yang dipelopori oleh Imam Malik, dan kemudian diadopsi juga oleh Imam Syafi’i.

Perselisihan ulama salaf tersebut menjadi dasar perselisihan ulama setelah mereka, maka ulama-ulama Hanafiyah berpendapat bahwa makna quru’ adalah haid, berdasar pada hadits Rasulullah: “ دعى الصلاة أيام أقرئك ” (tinggalkanlah sholat pada masa-masa quru’mu). selain itu juga karena maksud secara asal dari ‘Iddah adalah kosongnya rahim, sedangkan intinya ada pada haid.

Syafi’iyyah dan yang lain berpendapat bahwa arti quru’ adalah suci, maka masa iddah menurut mereka adalah tiga kali suci. bila ingin mengkaji lebih jauh dalil-dalil mereka bisa dilihat dalam Tafsir Fakhrur-Razi tentang ayat ini.

B. Makna Secara Umum

Demikianlah, sesungguhnya iddah itu telah diwajibkan. (Diantara hikmahnya) adalah agar jelas bahwa rahim benar-benar kosong dari anak (tidak hamil) sehingga terhindar dari kontroversi masalah nasab.

(Diantara hikmahnya juga) adalah untuk memberikan kesempatan kepada suami untuk intropeksi diri setelah reda amarahnya serta tenang jiwanya. boleh jadi dia akan berfikir bahwa meruju’ istrinya itu lebih baik daripada meneruskan perceraian, terlebih kalau hasil pernikahannya tersebut telah membuahkan anak, atau ada ikatan silaturrahim (keluarga) yang dapat tetap terjaga dengan adanya ikatan pernikahan antara mereka.

Dalam ayat tersebut Allah juga melarang wanita yang dithalaq menyembunyikan apa yang terjadi dalam rahim mereka. Allah berfirman (yang artinya): “Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat”.

Para ulama berselisih tentang maksud dari “apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya”, apakah maknanya adalah kehamilan atau haid? Menurut saya, pendapat yang paling sesuai maknanya adalah kedua-duanya: haid dan hamil, karena adakalanya wanita menyembunyikannya dengan maksud-maksud tertentu (yang terlarang).

Kadang wanita (yang dithalaq) menyembunyikan kehamilan agar masa iddah lebih singkat, sehingga ia bisa segera menikah lagi, padahal perbuatan yang demikian adalah seburuk-buruk penipuan dan kedustaan, karena dengannya akan terjadi pendomplengan anak kepada orang yang tidak semestinya. Perbuatan seperti ini kadang-kadang pernah terjadi pada masa jahiliyah dimana seorang wanita segera menikah lagi dengan seorang laki-laki lain setelah bercerai dari suami yang pertama. Ia tahu bahwa ia telah hamil dengan suaminya yang pertama, tetapi dia menasabkan anaknya dengan suaminya yang kedua, dan hal ini diharamkan dalam Islam.

Adapun menyembunyikan haid, adakalanya bertujuan untuk memperpanjang masa iddah dengan harapan agar suaminya tergerak untuk meruju’nya, atau karena tamak dengan nafkah iddah, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian wanita yang dithalaq pada masa ini, karena hakim mewajibkan pada suami untuk memberi mereka nafkah selama dalam masa iddah..

Dari sini dapat kita fahami (mengapa) Allah memberikan peringatan dan wanti-wanti dengan Firman-Nya (yang artinya): “Jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat”, seolah-olah Dia berFirman: Jika kalian mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, dimana (pada hari akhir itu) akan ada perhitungan dan balasan (atas segala amalan), maka janganlah kalian menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahim kalian, karena hal ini (selain Allah) tidak ada yang mengetahuinya kecuali dari pihak kalian (yang memberitahukan). Oleh saebab itu, dalam hal ini wanita dianggap dapat dipercaya dalam masalah iddah mereka, dan keputusan apakah telah selesai atau belumnya iddah ada pada keputusan mereka, maka apabila mereka menyembunyikannya (dengan berdusta) maka mereka dianggap tidak beriman dengan hukum yang diturunkan Allah untuk kemaslahatan seluruh umat.

III. Tentang Ruju’

Diantara hukum (yang berkaitan dengan) masalah thalaq adalah tentang ruju’, yaitu seorang suami kembali (melanjutkan tali pernikahan) selama masih dalam masa iddah. Allah Berfirman:

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا

Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.

Imam AR-Razi berkata tentang lafaz بعولة :

Pertama, lafaz tersebut adalah bentuk plural dari kata بعل sebagaimana lafaz fuhulah, dzkurah, jududah dan ‘umumah. sedangkan huruf ta’ marmuthah di akhirnya adalah sebagai tambahan yang berfungsi untuk mengokohkan pemu`annatsan bentuk jama’ (bentuknya sima’i). Isimnya البعل , yaitu apa-apa yang bersekutu padanya dua sejoli, sebagaimana lafaz الزوج , maka (pasangan) untuk seorang wanita itu dikatakan بعلة sebagaimana juga disebut زوجة . Dan suami itu disebut بعل , dan asal maknanya “tuan pemilik”.

Kedua, lafaz tersebut adalah bentuk masdar.

Makananya: Suami-suami dari wanita yang dithalaq itu lebih berhak untuk meruju’ mereka dalam masa ‘iddah mereka jika suami-suami tersebut menginginkan ishlah, tidak menginginkan kemudharatan kepada wanita tersebut. Jika suami tersebut ingin menimbulkan kemudharatan maka ia tidak punya hak secara syar’i untuk ruju’. hal ini berlaku dalam thalaq raji’.

Ruju’ artinya melanjutkan pernikahan yang telah berlangsung selama istri masih dalam masa iddah, dan ini adalah hak yang melekat pada suami tanpa terikat dengan kerelaan dari pihak istri. Suami berhak meruju’-nya, baik istri rela ataupun tidak, dan ruju’ ini tidak memerlukan mahar dan akad baru, dan bisa terjadi baik dengan perbuatan maupun dengan perkataan.

A. Hukum Thalaq Raji’

1. Hak (dan kewajiban) masing-masing tetap masih melekat pada mereka berdua, dan wanita yang dithalak wajib tinggal di rumah di mana suaminya tinggal.

2. Apabila salah satu dari keduanya meninggal maka mereka tetap saling mewarisi selama masih dalam masa iddah.

3. Suami tidak boleh mengulur-ulur sedekah

Setiap thalak itu dijatuhkan maka itu mengurangi jatah thalaq yang dimiliki oleh suami (Q.S. 2:229). Apabila jatah thalaq itu telah habis, apabila masa iddah telah berakhir namun suami tidak juga meruju’-nya, maka terputuslah ikatan pernikahan dan yang berlaku adalah Thalaq Bain.

B. Hak-Hak Suami-Istri

Tatkala suami menginginkan ishlah (perdamaian) dengan meruju’ istrinya, maka suami berkewajiban menegakkan hak-hak istri, demikian pula sebaliknya, istri berkewaajiban menunaikan hak-hak suami, dan Allah telah mengisyaratkan hak-hak masing-masing mereka dengan firman-Nya (yang artinya): “dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Akad nikah dalam syari’at Islam bukanlah berarti akad pengasingan dan kepemilikan. Akan tetapi akad tersebut adalah akad untuk saling menunaikan hak masing-masing, hanya saja suami diberikan kekhususan hak atas istrinya yang tidak diberikan kepada istri: “akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya”. Satu tingkatan derajat ditafsirkan dengan Firman Allah (yang artinya): “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”. (Q.S. 4:34)

Dalam kalimat ayat yang singkat ini terkandung ikatan yang kokoh bagi keluarga Muslim, bahwa para istri memberikan hak kepada suami setara dengan pergaulan suaminya kepada istrinya dalam segala situasi dan kondisi. Apabila suami berkeinginan menuntut sesuatu hal dari istrinya maka ia akan teringat bahwa dia juga berkewajiban atas istrinya semisal itu, oleh karena itu Ibnu Abbas berkata sehubungan dengan ayat ini: “Sesungguhnya aku berhias untuk istriku sebagaimana dia berhias untuk aku”.

Yang dimaksud di sini bukan berarti sama persis dalam segala hal dan spesifikasinya, hanyasaja maksudnya adalah bahwa hak-hak diantara mereka saling melengkapi. Kehidupan rumah tangga yang bahagia tidak mungkin tercapai kecuali dengan saling percaya dan saling bertukar pandangan, dan masing-masing melaksanakan hak pasangannya terlebih dahulu sebelum (menuntut) yang lain.

Ayat ini belum menjelaskan secara rinci tentang hak masing-masing keduanya. Hal tersebut diterangkan dalam ayat-ayat yang lain serta penjelasan dari (hadits) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

C. Hak-Hak Istri

Hak-hak istri atas suaminya meliputi hak-hak material/ lahiriyah dan hak-hak non-materiel/ Bathiniyah. Hak Materiel istri diantaranya adalah: Mahar (Q.S. 4:4) dan Nafkah (QS. 65:6). sedangkan hak-hak non-materiel diantaranya adalah: Menpergauli mereka dengan cara yang baik (Q.S. 4:19), bila berpoligami maka tidak boleh menampakkan kecendrungan kepada salah satu istri saja (Q.S. 4:129)

D. Hak –Hak Suami

Sebagaimana telah diterangkan oleh Allah, diantara hak-hak suami atas istrinya adalah: menjaga dirinya (kehormatannya), menjaga harta suaminya serta mentaatinya (karena suami adalah pemimpin) (Q.S. 4:34).

Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, bahwa ia berkata: Seorang wanita menemui Rasulullah kemudian bertanya: Wahai Rasulullah, Apakah hak suami atas istrinya? Rasulullah bersabda: “Janganlah istri bersedekah dengan harta suaminya sedikitpun kecuali atas ijin suaminya, seandainya ia tetap melakukan hal itu maka pahalanya adalah untuk suami sedangkan istri akan mendapatkan dosa”. Wanita tersebut bertanya lagi: Apa (lagi) hak suami atas istrinya? Beliau bersabda: “Hendaklah si istri tidak keluar dari rumah suaminya kecuali dengan ijinnya dan hendaklah ia tidak berpuasa walaupun sehari kecuali dengan ijin suaminya.

Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sasllam: “sebaik-baik istri adalah seorang wanita yang apabila engkau (sebagai suami) memandangnya maka dia menyenangkan (pandanganmu), bila engkau menyuruhnya maka ia mentaati, dan bila engkau sedang tidak berada di sisinya maka dia menjaga dirinya untukmu dan menjaga hartamu”.

E. Hak-Hak Bersama Antara Suami dan Istri

1. Hak untuk “bersenang-senang”. Masing-masing punya hak untuk “bersenag-senang” dengan pasangannya selama tidak ada halangan (seperti haid, siang hari bulan Ramadhan, dll).

2. Menghormati perbesanan dalam artian si suami dan istri menghormati orang tua pasangannya beserta keluarga besarnya sebagaimana ia menghormati orang tua dan keluarga besarnya sendiri.

3. Tetapnya berlaku saling mewarisi

4. Tetap berlaku nasab anak disandarkan pada suami-istri

5. Bergaul dengan baik

IV. Penutup

Seandainya wanita-wanita kaum Muslimin merenungkan nash yang mulia ini niscaya mereka akan melihat kedudukan yang tinggi yang telah Allah angkatkan untuk mereka, yang mana kedudukan ini tidak pernah dicapai oleh umat mana-pun sebelum Islam ataupun setelahnya, hingga pada umat yang paling mulia dari bangsa eropa saat ini sekalipun.

Adapun Firman Allah (yang artinya) : “akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya”, maka maksudnya adalah derajat dalam hal kepemimpinan, kemuliaan (harus dihormati) dan menegakkan kemashlahatan; karena kehidupan berumah tangga adalah kehidupan kemasyarakatan (social), dan setiap masyarakat mesti memiliki seorang pemimpin yang mengatur segala urusannya, karena dalam kehidupan bermasyarakat pasti tidak lepas dari perselisihan pendapat dalam beberapa perkara, dan mereka tidak akan dapat mencapai kemaslahatan mereka kecuali bila mereka memiliki seorang pemimpin yang dapat dipegang pendapatnya. Laki-laki lebih berhak atas kepemimpinan ini, karena ia lebih memungkinkan untuk melaksanakan (kepemimpinan) dengan kekuatannya dan hartanya. Dari sana maka ia dituntut untuk melindungi wanita (istri) dan memberi mereka nafkah, sementara si istri dituntut mentaati suami dengan cara yang baik. Jika istri tersebut membangkan dari ketaatannya (nusyuz), maka si suami wajib mendidiknya dengan cara memberikan nasehat, pisah ranjang, atau memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai dan tidak menyakiti, melainkan untuk maksud mendidik (ta`dib=membuat dia jadi lebih beradab), kesemuanya itu dibolehkan bagi pemimpin rumah tangga demi tegaknya hubungan rumah tannga.

Adapun penganiayaan terhadap istri untuk menguasai, balas dendam dan menyiksa, maka perbuatan tersebut adalah sebuah kedzaliman yang tidak dibenarkan sama sekali, dan Allah akan membalas siapa saja yang menyalahi hukum-hukum ini. Syari’at-Nya mengandung hikmah-hikmah dan kemaslahatan-kemaslahatan, dan sesungguhnya Allah Maha Peraakasa Lagi Maha Bijaksana.

Diterjemahkan secara bebas dan ringkas dari:

Prof. Abdul Adzhim Ma’ani dan Dr. Ahmad Al-Ganrur, “Ahkâm Min al-Qur`ân wa as-Sunnah: Lugah, Ijtima’, Tasyri’”, (Al-Manar, tt), hal. 65-79

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda